Sabtu, 14 Mei 2016

On Toothpaste

Tentang sikat gigi dan pasta gigi
 toothpastecartoon toothbrush

Ini penting gak ya? Kaya nggak penting. Tapi...mungkin ada gunanya. Mudah2an ada gunanya....

Ini salah satu hal yg udah lama ada di pikiran dan udah lama dipraktekkan.

Tentang kebiasaan nyikat gigi. Ada apa dg kebiasaan nyikat gigi? Saya berhenti pakai pasta gigi sejak tahun 2009. Jadi, udah sekitar 7 tahun menyikat gigi tanpa pasta gigi. Apa alasannya? Ada beberapa hal yg jadi sumber inspirasinya.

Pertama adalah waktu salah satu dosen farmasi saya pernah mengungkapkan keraguannya tentang manfaat suatu zat tertentu dalam pasta gigi. Dosen saya saat itu ragu apakah kadarnya pas, dan apakah lama menyikat gigi kita sudah cukup untuk zat tersebut dapat diserap oleh gigi kita, atau, apakah memang begitu caranya kalau ingin memenuhi kebutuhan nutrisi untuk gigi kita.


Terlepas dari apakah pertanyaan tersebut valid atau nggak, keraguan dosen saya itu kemudian jadi pertanyaan saya juga. Sebenernya pasta gigi ada gunanya nggak ya?

Sumber inspirasi kedua adalah pengalaman melihara kucing sejak saya kecil sampai hari ini. Jadi kalau memperhitungkan umur saya yang sudah pertengahan 30an, dan mungkin mulai menyentuh kucing sejak umur 5 tahun, maka pengalaman saya memelihara kucing itu udah 30 tahun.

Kalau rata2 kucing yang dipelihara berusia 5 tahun, maka ada 6 generasi kucing. Dan bila tiap generasi ada sekitar 3 ekor (maksudnya kucing dengan bagian tubuh yang lengkap yaaa, bukan ekornya aja), berapakah jumlah kucing yg pernah saya pelihara? Anda bisa jawab?

Cat Yawning

Jawabannya: ada sekitar 18 ekor kucing yang pernah kami pelihara. Anda yang merasa jawabannya benar tidak dapat hadiah apa2.

Sedikit sebenernya, tapi ada fakta menarik, seingat saya kucing2 itu giginya putih2, padahal ga ada satu pun kucing saya yg pernah saya amati sedang sikat gigi, apalagi pakai pasta gigi. Jadi mereka nggak butuh sikat gigi, apalagi pasta gigi, untuk membuat giginya tetap putih. Yang sering saya perhatiin adalah mereka (maksudnya: kucing2 itu) py kebiasaan membersihkan mulutnya pakai lidah mereka sendiri setiap selesai makan.


Douglas gasping

Sebagian pembaca mungkin sudah tahu kalau permukaan lidah kucing itu kasar, dan tampaknya memang cukup efektif membersihkan sebagian besar bagian tubuhnya. Tapi pasti nggak akan efektif membersihkan sela2 gigi mereka.

 cute-n-nautee

Jadi, saya curiga, ssssttt....jangan-jangan....sebenernya...kita...nggak perlu pasta gigi...ssssstttttt....( :) agak lebai yaa?)

Inspirasi berikutnya adalah ketika SMA. Saya pernah coba ikuti anjuran sikat gigi yang benar, yaitu setiap sehabis makan dan sebelum tidur (yang saat ini sepertinya sudah berubah menjadi-mohon koreksi bila salah- 'minimal satu kali setiap hari sebelum tidur'). Saat itu sy benar2 berhasil memutihkan gigi saya, bahkan ketika sy ga selalu pakai pasta gigi (kadang ada pasta gigi yg terlalu 'pedes', jadi males makenya).

Tapi itu hy berlangsung ga lebih dr 2 tahun. Sejak kuliah mulai males lagi sikat gigi, dan sampai sekarang targetnya adalah minimal sekali sehari. Jadi gigi saya sekarang nggak putih, agak kekuningan, tapi terakhir ke dokter gigi, katanya gigi saya kondisinya bagus. Tapi intinya, pengalaman itu mengingatkan saya kalau tingkat kerajinan menyikat gigi berperan penting memutihkan gigi, walau tanpa pasta gigi, apalagi pasta gigi yang ada pemutihnya.

Sumber inspirasi berikutnya adalah ketika pasta gigi tanpa deterjen mulai bertambah banyak iklan dan jenisnya. Kesannya, deterjen dalam pasta gigi itu nggak baik untuk kesehatan mulut. Saat ini sy belum tertarik membahas apakah deterjen baik/tidak untuk kesehatan mulut, tapi hanya ingin share kesimpulan sementara kalau deterjen dalam pasta gigi itu sebenernya nggak ada jg gpp.



Iklan dan produk2 pasta gigi tanpa deterjen itu sebenernya mengatakan kalau pasta gigi itu nggak mesti ada deterjen supaya gigi kita bisa tetep sehat. Percaya nggak...?

Lalu muncul produk pasta gigi khusus untuk gigi sensitif. Gigi sensitif maksudnya bukan  gigi yg mudah tersinggung yaa, tapi gigi yang 'nggak kuat' dipakai makan/minum yg terlalu dingin/panas misalnya.
Terlepas dari apakah ini cara yg tepat untuk mengatasi gigi sensitif atau nggak, dokter gigi lebih tahu, saya hy ingin share ide bahwa gigi akan sehat kalau tubuh kita sehat, artinya pasokan nutrisi yg dibutuhkan gigi sampai ke gigi dengan selamat dan dalam jumlah yg cukup. Artinya, kesehatan gigi kita sangat tergantung pada gaya hidup kita.

Nggak bermaksud bahas soal gaya hidup, tapi ide lain yg ingin saya bagi adalah, kalau ada masalah dg salah satu bagian tubuh kita, coba pertimbangkan untuk melihat kembali gaya hidup kita dan mulai evaluasi dari situ. Gangguan pada salah satu bagian tubuh kita mungkin disebabkan karena gaya hidup kita yang nggak sehat. Misalnya, komposisi nutrisi makanan kita yang nggak seimbang sehingga kebutuhan nutrisi badan kita nggak terpenuhi.

Nah, akhirnya sampai ke satu hal lain yg juga mudah2an ada gunanya untuk dishare, yaitu memakai sikat gigi ukuran yg pas untuk ukuran mulut kita. Bukan karena mulut saya kecil, dan bukan karena saya suka warnà dan bentuk sikat gigi anak2 yang warna warni dan kadang ujungnya berbentuk helokiti, saya pakai ukuran anak2 karena ukuran itu yg bisa menjangkau seluruh gigi sampai gigi geraham yg paling ujung. Ini penting supaya semua bagian gigi kita dapat bersihkan sampai ke ujung2.

Tentang teknik menyikat gigi, kita bisa tanya dokter gigi atau cari informasinya di website2 kesehatan.

Jadi, kalau bisa disimpulkan, hal-hal yg menurut paling penting diperhatikan ketika sikat gigi: sikat gigi di waktu yg tepat, dengan frekuensi yg tepat, ukuran sikat yg tepat dan metode yg tepat. Soal pasta gigi, merek, atau jenisnya, rasanya nggak perlu terlalu dipikirkan,...termasuk iklan2nya...

Semoga berguna..... :)
Pertama: Tajur, 14 Mei 2016
Revisi pertama: Paseban,12 Juni 2017

Kamis, 05 Mei 2016

On self confidence

Kadang penasaran, apa ada ya orang yang ngga pernah demam panggung selama hidupnya.....

Demam panggung disini maksudnya bukan naik ke atas panggung lalu suhu badan naik lalu hilang setelah minum paracetamol :)

Sampai saya menginjak kepala tiga....mmmm....tunggu.....kenapa menyebut 'menginjak kepala tiga' terasa kejam ya...? Maksudnya bukan sedang menginjak kepala, apalagi sampai tiga....

Maksudnya, sampai saat ini (usia lebih dari 30 tahun), saya masih mengalami demam panggung ketika tampil di depan banyak orang.

Sejak SMP sampai sekarang, pernah dan masih terlibat di kegiatan yang mau ngga mau memposisikan saya di depan orang banyak, dan sebagian di antaranya adalah kegiatan yang sifatnya rutin.

Waktu SMP pernah jadi misdinar di gereja. Untuk yang ingin tahu, misdinar adalah satu dari beberapa petugas di dalam misa di gereja  Katolik. Tugasnya membantu/melayani imam dalam misa, dan area kerjanya di bagian depan ruang misa. Terkadang rasanya seperti semua umat, terutama yang paling depan, merhatiin, padahal aku yakin ngga :) soalnya, kalau lagi duduk di posisi umat juga aku ngga kepikiran merhatiin misdinar yang lagi bertugas.

Waktu SMP dan SMA  juga kerap kali ditunjuk menjadi pemimpin upacara atau petugas pengibar bendera. 

Ketika sudah bekerja, pernah menjadi lektor di gereja selama beberapa tahun. Juga sama seperti misdinar, lektor adalah salah satu petugas yang ada dalam misa yang tugasnya membaca kutipan kitab suci, atau pengumuman gereja atau membacakan doa, di depan umat. Selain itu, selama ini juga kadang terlibat di paduan suara gereja yang tugas utamanya menjadi dirigen.

Dan saat ini, di tempat saya bekerja, salah satu pekerjaan yang dilakukan adalah mempresentasikan hasil kerja di depan suatu tim yang terdiri dari teman2 seperjuangan, atasan, serta tim ahli dari luar kantor dari universitas dan asosiasi profesi kedokteran terkait.

Jadi, semua kegiatan itu membawa saya pada posisi di depan banyak orang yang sering menimbulkan rasa 'takut'. Tetapi, entah kenapa, kegiatan yang saya ikuti selalu membawa saya pada posisi itu. Padahal saya bisa pilih  kegiatan lain yang nggak perlu pake tampil di depan orang. Semuanya terjadi begitu aja.

Dalam tulisan kali ini saya ngga bermaksud menjelaskan apa itu demam panggung dan menjelaskan apa sebenarnya yang terjadi dari sisi psikologis, karena saya bukan ahli psikologi. Hanya ingin berbagi ide tentang apa yang saya pahami dari rasa 'takut' itu.

Selama bulan November tahun 2015, saya menghadiri 2 acara workshop di luar negeri yang dihadiri oleh perwakilan dari beberapa negara. Pada kedua acara workshop tersebut saya ditugaskan memberikan presentasi. Saya amati bahwa ketika kita sudah membuat persiapan dengan cukup baik sebelum tampil, demam panggung itu sangat berkurang. Ketika kita siap melakukan apa yang harus dilakukan, kita akan merasa lebih percaya diri, dan hasilnya, presentasi dilakukan dengan lebih tenang, dapat berpikir dengan lebih baik dan presentasinya lebih lancar. Banyak kekurangan di sana sini, tapi lumayan lah, setidaknya untuk ukuran saya.

Jadi, pada umur saya yang sekarang, demam panggung terjadi lebih karena ketidaksiapan saya dalam melakukan apa yang harus saya lakukan. Sekitar sebulan sebelumnya, dalam paduan suara di gereja, saya mendapat tugas menyanyikan lagu (solo, bukan 'Solo') di depan umat, dan saat itu saya sudah merasa ngga siap. Dalam perasaan ngga siap saya melangkah ke podium dan memandang tepat ke arah umat berada (yang jumlahnya cukup banyak), dan rasa 'takut' itu jadi bertambah. Perasaan itu membuat nafas saya ngga lancar sehingga nyanyiannya ngga terdengar baik. Jadi pemicu awalnya adalah ketidaksiapan.

Tetapi sebenarnya dalam hal per-demampanggung-an ini, di masa lalu, masa kecil dan masa 'agak besar', ada hal lain yang saya amati menjadi penyebab munculnya rasa 'takut' ketika saya tampil di depan orang banyak. Ada satu hal yang ingin saya share disini, yaitu tentang cara saya memandang diri saya sendiri, cara saya menilai diri saya dan posisi saya di antara orang lain.

Pada masa-masa itu, tanpa disadari, saya membuat ukuran tentang nilai seorang manusia. Tanpa disadari, saya mengukur nilai manusia dari penampilannya (misalnya pakaian, kondisi fisik), dari apa yang dimiliki (seperti uang, rumah, kendaraan pribadi, teman banyak), dan dari apa yang bisa dilakukan (seperti kepandaian, keterampilan, kekuasaan, dan pengaruh).

Tanpa saya sadari, ukuran-ukuran itu saya ukurkan pada diri saya. Saya berasal dari keluarga menengah ke bawah, saya ngga merasa pintar baik di sekolah maupun dalam permainan bersama teman-teman sebaya, dan ngga merasa punya banyak teman.

Kalau diandaikan seperti liga sepak bola, tanpa disadari saya merasa berada di posisi bawah dalam klasemen. Perasaan-perasaan itu membuat saya ngga pede ketika tampil di depan orang banyak. Ada perasaan bahwa saya orang yang ngga penting, orang yang ngga layak diperhatikan, dan orang yang ngga  punya apapun yang bisa berguna untuk orang lain.

Salah satu hal penting yang harus disampaikan disini adalah bahwa semua hal itu sebenernya hanya ada dalam pikiran. Ketika saya mengubah cara menilai diri saya, perasaan-perasaan negatif itu perlahan berkurang.

Ketika SMP, selama tahun ke-3 saya menjadi juara kelas, kemudian saya lulus dengan nilai STTB tertinggi, dan dengan Nilai Ebtanas Murni yang cukup tinggi. Ketika SMA, saya cukup sering jadi juara kelas. Kemudian, saya berhasil masuk ke salah satu universitas terbaik di Indonesia dengan nilai IPK yang nggak jelek-jelek amat.

Saya juga punya keterampilan lain (walaupun biasa-biasa aja) seperti Bahasa Inggris (yang sangat berguna untuk pekerjaan kantor sehari-hari), bernyanyi (sangat berguna di kegiatan gereja ataupun dalam acara dengan teman) dan bermain alat musik (setidaknya berguna untuk menghibur diri sendiri :)).Di tempat kerja, saya mendapat tugas beberapa kali mengikuti pertemuan yang dihadiri perwakilan dari beberapa negara. Di gereja, saya cukup aktif dalam berkegiatan.

Hal-hal di atas ngga dimaksudkan untuk memamerkan kelebihan saya, tetapi lebih untuk mengatakan bahwa saya perlu mengalami hal-hal  itu untuk sadar bahwa saya sebenarnya sama berharganya dengan orang lain.Pengalaman-pengalaman itu membantu saya untuk mengubah cara saya memandang diri saya. Dan dalam konteks 'self confidence', perubahan sebenarnya bukan pada diri saya, tetapi pada cara saya memandang diri saya.

Saya berharga bukan karena hal-hal yang saya sebutkan di atas. Saya berharga karena saya sebenarnya sama dengan sesama saya apapun latar belakang, kemampuan, kekayaan ataupun status lain yang dilekatkan pada saya.

Bukan untuk mengatakan bahwa orang harus memiliki harta, intelektualitas, keterampilan dan kemampuan dulu agar bisa memiliki kepercayaan diri ketika berada bersama orang lain. Tetapi untuk mengatakan bahwa menyadari fakta bahwa kita adalah sesama manusia, mestinya cukup untuk membuat kita memiliki kepercayaan diri ketika ada bersama dengan orang lain.

Dan karena kita merasa sama berharga dengan orang lain, maka ngga bisa ngga, kita pun akan dengan sendirinya belajar untuk menghargai orang lain.

Kesadaran bahwa kita sama berharganya dengan orang lain punya peran besar dalam menumbuhkan 'self confidence' dalam diri, dan kesadaran itu juga berperan besar dalam menumbuhkan penghargaan terhadap orang lain.

Cilebut, 5 Mei 2015
Edit pertama 12 Juni 2017